Magnolia Mencari Tuhan

Satu lagi novel saya yang belum terselesaikan. Daripada teronggok di PC rumah dengan risiko kehilangan data, lebih baik diamankan saja di blog ini. Akan saya "cicil" paragraf demi paragraf. Semoga bisa dinikmati.

Sunday, February 12, 2006

Sweet Child O Mine


Semua berawal dari ketawa cekikikan dua pasang perempuan belia di sebuah kamar. Yang satu, Magnolia, dengan celana pendek Hawaii kedodoran, sampai sesunggukan tertawa lepas. Suaranya berhuahahaha mirip dengan tokoh Rahwana dalam pagelaran wayang orang. Ketawa model begini kalau terdengar orang tua akan segera dihentikan dengan bentakan atau bahkan cubitan di paha yang meninggalkan bekas biru. Tapi apa daya, gaung cekakan Magnolia tertutup oleh raungan gitar Kirk Hammet. Sementara perempuan satu lagi, Eda, cekikikan mirip kuntilanak. Keduanya berduet diiringi lagu "Justice for All" dari Metallica.

"Gile lu, punya keluarga terkutuk kayak gitu. Sampe berapa turunan? Tujuh? Persis kayak film horor Indonesia aja. Norak!!!" Eda menimpali di tengah cekikikannya.
"Gue ngga percaya! Sumpeh mati gue ngga percaya," sambut Magnolia sengit.
Beberapa menit lalu, sebelum keduanya bertingkah gila macam itu, eyang putri Magnolia sempat mampir mengetuk pintu kamar penuh asap rokok itu. Dengan suara serak parau sang perempuan tua berkisah pendek yang ujungnya sampai pada kisah kutukan keluarga.
"Pihak perempuan keluarga kita ditakdirkan akan menikah dua kali. Suami pertama usianya lebih tua, dan suami kedua akan berusia lebih muda dari istrinya. Tapi semua perempuan itu akan meninggal lebih dulu dari suaminya," begitu kira-kira sang eyang putri berujar menutup kisahnya. Entah bagaimana awal ceritanya, Agno dan Eda sudah lupa. Dan penutupan kisah itu membuat keduanya tertawa terpingkal seolah menonton aksi Jim Carey.

Dan kemudian hari-hari pun berjalan seperti biasa. Agno masih berseragam putih abu-abu. Setiap kali pulang sekolah jarang langsung ke rumah. Bubar sekolah selalu dirayakan dengan acara jalan-jalan bersama teman satu gank-nya. Nonton film Hongkong di bioskop murah beramai-ramai, putar-putar mall, menyambangi toko kaset untuk mengorek info album terbaru group rock idola, cuci mata melihat poster Jon Bon Jovi atau Axl Rose yang digelar pedagang kaki lima, membacai semua majalah remaja di toko buku sampai lecek, makan bakso sembari menyimak wajah manis pengamen jalanan, makan somay sampai kepedesan dan bermandikan air mata, mampir ke rumah teman biar dapat makan gratis, dan banyak lagi aktivitas warna warni lain. Semua dilakukan berulang-ulang tanpa jadwal tetap. Dan tanpa rasa jemu.

Agno dan teman-teman se-gank-nya tak pernah tahu kenapa orang kerap bilang kalau masa remaja adalah masa paling indah. Bagi mereka, kata-kata itu hanya ditujukan bagi kaum manula yang sudah keriput dan tidak punya keinginan untuk hidup. Tanpa mereka sadarai mereka melalui masa warna-warni itu begitu saja, mirip dengan angin dingin di pagi hari. Sejuk, indah dan cepat berlalu untuk kemudian tak pernah datang lagi. Agno saat itu hanya menyumpahserapahi hidup sebagai sesuatu yang menjijikan.
Betapa tidak, tiap bangun pagi ia harus memeriksa apakah ada jerawat di pipinya. Atau sewaktu ada konser group musik lokal yang memainkan lagu cadas, tahu-tahu ada ulangan Bahasa Inggris pada jam yang sama. Juga di tengah perjalanan bolos sekolah menuju bioskop murahan terdekat tiba-tiba kepergok oleh guru killer yang tak kenal kompromi. Agno dan teman-teman hanya bisa memaki-maki hidup mereka di masa SMA sebagai segala sesuatu yang serba tanggung. Ingin merokok belum boleh, mau pakai lipstik dikata norak, pakai jeans robek-robek selalu mengundang perhatian. Mendengarkan musik Sepultura dibilang orang gila oleh tetangga kiri kanan.
Agno hanya memandang hidup belianya sebagai suatu perjalanan melarikan diri dari kenyataan. Ia dan semua belia seusianya tak pernah menyadari kalau masa itu adalah kali terakhir mereka bisa berhaha-hihi tanpa beban sama sekali. Ya, sebelum masa dewasa merampas kemerdekaan itu tanpa kenal kompromi.

Belum lagi yang namanya bunga-bunga masa remaja. Kendati belum pernah berpacaran, Agno sudah beberapa kali jatuh cinta. Dan cintanya pada Ican abadi -kalau dihitung bahwa hidup hanya berlangsung selama mereka pakai putih abu-abu. Sejak kelas satu SMA Agno sudah mengincar lelaki kurus jangkung berwajah culun itu. Padahal Ican bukan idola di sekolah. Olahraganya payah, basket ngga becus, voli apalagi. Kalau semua teman satu gank-nya mencibir maka Agno hanya bisa membela diri, "Tapi dia jago nggambar lho".

Memang Ican paling hobi menggambar. Selama guru menjelaskan di muka kelas, lelaki kurus berambut kucai itu akan menunduk dengan raut wajah serius. Yang tidak tahu akan mengira Ican sedang konsentrasi mencatat pelajaran. Jangan salah, Agno tahu pasti kalau cowok pujaannya sedang asyik masuk menggoreskan pulpen Pilot hitamnya ke atas buku tulis untuk membentuk simbol Guns N'Roses atau Megadeth. Mungkin juga menggambar model gitar listrik Ibanez terbaru.

Persetan dengan apa yang digambar oleh Ican, Agno selalu tergila-gila. Kadang dengan kemanjaan yang hanya bisa ditangkap spesies tertentu- sebab bersikap manja akan sangat samar pada Agno yang dijuluki cewek metal di sekolah- ia akan meminta Ican menggambarkan beberapa pernak pernik group musik favorit. Padahal itu hanya kiat Agno untuk menarik perhatian saja. Dan kiat itu selalu sukses. Jantungnya berdebar keras. Hatinya melambung ke luar angkasa sampai tak bisa tidur semalam suntuk- besok ulangan matematika dan belum belajar- cuma karena mendapat sesobek kertas bergambar coretan tangan Ican.

Lelaki kerempeng itu sendiri kadang juga memberi sinyal khusus buat Agno. Seperti kalau ia ketahuan sedang mencuri pandang Agno di kelas. Atau perhatiannya berupa meminjamkan majalah Metal Egde, juga kaset VHS konser Metallica waktu group itu belum tenar benar di suatu klub kecil di Amrik.

Ketika anggota gank Agno satu-satu mulai pacaran, Agno masih sibuk menghitung kancing bajunya sebagai tebakan apakah Ican juga naksir dirinya. "He loves me, he loves me not. He loves me, he loves me not." Begitu ia kerap menebak melalui kancing seragam putih dekilnya. Sebelum ia mendapat jawaban, tahu-tahu mereka semua harus lulus dari SMA itu dan mesti berpencar menentukan jalan hidup masing-masing. Tanpa kompromi.
Dan kemudian ia pun hijrah ke Jakarta untuk tinggal bersama mama, seorang perempuan yang sejak kecil tak pernah tinggal bersamanya. Aneh? Cest la vie, kata orang Perancis. Begitulah hidup.

1 Comments:

Post a Comment

<< Home