Magnolia Mencari Tuhan

Satu lagi novel saya yang belum terselesaikan. Daripada teronggok di PC rumah dengan risiko kehilangan data, lebih baik diamankan saja di blog ini. Akan saya "cicil" paragraf demi paragraf. Semoga bisa dinikmati.

Monday, February 13, 2006

As Tears Go By

"Ma, apa benar keluarga kita kena kutukan?" Suara Agno memecah keheningan membuat mamanya terhenyak. "Kata siapa," mama mengernyitkan dahi. "Dulu sekali, waktu Agno masih di Bandung, Eyang pernah bilang begitu. "Katanya, pihak perempuan dari eyang putri buyut kita akan menikah dua kali dan selalu meninggal lebih dulu dari suami keduanya," tutur Agno sambil memperhatikan mimik wajah sang mama.

Mama hanya tersenyum sembari tangannya seperti menepiskan sesuatu. "Ah, kamu ini jangan suka percaya yang aneh-aneh," bantahnya sengit. Perempuan setengah baya itu bangkit, menuju meja rias dan mulai sibuk membenahi wajahnya di sana-sini. Mama Agno sudah beranjak tua, maka harus ekstra ketat merawat wajah.

Agno kadang menganggapnya lebih sbagai kakak daripada orangtua. bagaimana tidak, sejak kecil Agno tidak pernah tinggal bersamanya. Mama Agno harus bekerja di Jakarta mencari nafkah, sedangkan Agno dititipkan ke eyang di Bandung. Selepas SMA baru Agno tinggal bersama mamanya, sebab memang ia ingin kuliah di Jakarta.

Jauh di benak Agno, ia sangat kagum pada mama. Ia begitu mandiri, punya berbagai aktivitas yang membanggakan, juga sangat kokoh. Tapi ada kalanya ia iba pada perempuan itu. Sewaktu kecil, sebelum Agno tinggal di Bandung, ia sempat melihat mamanya begitu ringkih dan lemah tak mampu menghadapi hidup. Saat itu Agno hanya seorang anak balita yang tak tahu apa-apa.

Ia hanya ingat bagaimana mama menangis tersedu menggapai-gapai dirinya yang ada dalam gendongan seorang perempuan tua, eyang putrinya. Dan mama memanggil-manggil nama Agno dengan nada mengerang karena takut kehilangan. Itu kisah dulu saat Agno mejadi perebutan antara mama dengan mantan mertuanya. Mama tak lebih dari seorang perempuan tak berdaya yang menghiba karena harus dipisahkan dari anaknya. Sungguh berbeda dengan sosoknya kini, seorang aktifis perempuan yang seolah tak takut pada hantu belang sekali pun.

Metamorfosis itu terjadi perlahan-lahan saat ia berhasil melepaskan diri dari jeratan Dody, lelaki yang sempat terngiang di benak Agno sebagai papanya. Mama Agno berhasil merebut Agno dari tangannya dan segera mengungsikannya ke Bandung untuk diasuh Eyang yang notabene adalah kakek Agno. Sejak itu Madita, begitu nama mama Agno, pelan-pelan mulai bangkit dari keringkihannya. Hanya dengan ijazah SMA dan IP terakhir di semester kelima Madita mampu membuktikan kalau sekolah formal bukan jaminan otak encer. Ia berorganisasi, bergabung dalam sebuah NGO perempuan ternama. Aktivitas ini sebenarnya terjadi tanpa sengaja. Sesungguhnya Madita ingin mengadukan sepak terjang sang mantan suami, Dody, yang terus menerus menerornya sejak ia berhasil memboyong Agno.

Dibacanya dalam sebuah majalah kalau LSM tersebut mampu membela hak Kaum Hawa yang terinjak-injak. Dengan ragu ia mendatangi LSM itu dan berbicara dengan salah satu anggotanya. Dari sini ia pelan-pelan mulai melek hukum, melek segalanya.
Dan dalam lima tahun ke depan yang terjadi adalah Madita menjadi salah satu dari para pendekar perempuan tersebut. Ia ikut bersuara lantang waktu ada peraturan yang bersikap tak adil pada buruh perempuan. Ia ikut turun ke jalan mendemo perusahaan yang mendiskreditkan pekerja perempuan. Dengan gagah berani ia juga berkampanye menempelkan poster di sana-sini berisikan himbauan bahwa perempuan Indonsia harus bangkit dari keterjajahan suami.

Sampai akhirnya ia memegang sebuah jabatan penting dalam organisasi itu dan akhirnya dipercaya sebagai pimpinan. Nama Madita ada di koran, majalah, radio, televisi. Nama Madita identik dengan seorang perempuan tegar, kokoh, yang bangkit dari kelemahannya, membela sesama dan mengobarkan semangat pada para istri yang diinjak-injak suami.
Agno bangga sekali. Ia memamerkan majalah berisi berita atau profil mamanya kepada teman-teman di sekolah. Waktu itu Agno masih SMP. Ia bisa menghalau cibiran teman-temannya yang kerap mengejek mamanya yang tak pernah datang mengambil rapot. Dan Agno bisa menepisnya kini sembari memamerkan majalah itu. "Mamaku sedang sibuk di Jakarta, dipotret wartawan dan ketemu ibu menteri," tukas Agno lantang. Madita memang luar biasa sibuk. Dalam setahun ia hanya menengok Agno dua kali atau menelepon seminggu sekali. Bukan karena ia lupa atau tak memikirkan anak perempuan manisnya, bukan.

Ia memang sangat sibuk dengan aktivitasnya sebagai pejuang perempuan. Bersama LSM-nya ia menggelar seminar, menggelar kampanye, sibuk membela berbagai kasus penginjak-injakan harkat perempuan di seanteri Indonesia. Ditambah dengan undangan dari organisasi sejenis di beberapa negara lain. Sibuk berbicara di pelbagai even nasional maupun internasional. Mengupayakan pembelaan hukum murah atau cuma-cuma untuk para istri yang dianiaya suami. Memperjuangkan mati-matian para tenaga kerja wanita yang diguyur air panas, diperkosa atau bahkan dibunuh di negeri lain. Madita bukan hanya berhasil membela dirinya endiri sebagai perempuan tapi juga terus berusaha membela kaum perempuan lain. Agno sangat bangga.

Sampai akhirnya terbetik berita Madita berpacaran dengan seorang lelaki yang juga aktivis. "Mama sibuk sana-sini ternyata cuma biar bisa berduaan sama cowok itu!" begitu sengit Agno menolak kenyataan kalau mamanya juga perempuan yang punya rasa cinta.

Ego Magnolia kian berkobar sebab ia mulai masuk masa remaja, masuk SMA. Di situ ia berkenalan dengan musik keras heavy metal, trashmetal, juga grunge dan rock alternative. Membentuk gank perempuan yang bergaya dandan aneh. Rambut panjang berantakan menutupi mata dan setengah wajah, sepatu janggel dengan kaus kaki warna-warni, tas panjang diselempangkan atau bahkan cuma menjinjing satu buku yang diselipkan di baju. Biar gampang kalau bolos, begitu kiatnya. Lengan baju seragam digulung ala preman dan tangan penuh gelang kulit atau besi dari Malioboro. Berteriak histeris menonton konser musik rock group lokal yang meniru gaya Axl Rose atau Bon Jovi.

Itulah masa keemasan dan keangkuhan Agno. Masa kebebasan Agno untuk ingin menerima fakta atau menghempaskannya. Melarikan diri dalam biusan fantasi belia tanpa batas. Sudah untung dia tak bersentuhan dengan morfin, ganja atau pil anjing. Bagus kalau Agno tumbuh di lingkungan dimana musik rock tidak identik dengan drugs dan seks bebas.

Sementara hati Madita terus merasa was-was dengan perkembangan Agno yang menjadi perempuan aneh. Suka berteriak-teriak mengunci diri dalam kamar mengikuti suara Max Cavalera. Semua laporan Eyang selalu aneh-aneh atas diri Agno. Terlalu sering membolos untuk menonton konser musik di berbagai kampus, menyatut uang SPP untuk dibelikan aneka kaset , buku dan majalah, sering menginap di rumah teman tanpa alasan jelas, merokok diam-diam di toilet sekolah atau bahkan terang-terangan di kafe, pergi kemping berhari-hari tanpa izin, dan banyak lagi kegilaan lain. Madita sempat berpikir akan menitipkan Agno di sekolah asrama Katolik yang super ketat, tapi urung karena dilarang Eyang Agno.

Sejak itulah Madita sering menyambangi putri satu-satunya. Menemaninya menonton bioskop, jalan ke mall, makan makanan sampah di resoran waralaba Amerika, membelikan album kaset incaran Agno, bahkan membelikan tiket nonton Sepultura di Jakarta. Segala cara ditempuh Madita untuk berbaikan dengan darah dagingnya. Agno suka. Teman-temannya ikut kecipratan ditraktir sana-sini. Agno bangga punya mama modern yang mengerti musik dan mendukungnya ikut main band. Tidak seperti mama teman-temannya yang kolot dan melarang mereka berdandan metal.

Berhasil sudah gencatan senjata yang dilancarkan Madita. Disusul kemudian dengan memperkenalkan Agno pada Ankara, seorang lelaki aktivis lingkungan yang berusaha menjadi papa tiri Agno.

"Kenapa Om ngga pakai celana ala pemburu yang banyak kantong dan pakai rompi dan topi pemburu? Katanya pejuang lingkungan," tukas Agno pada pertemuan pertamanya dengan Ankara. Yang terlintas di kepalanya waktu itu adalah seorang aktivis lingkungan tak beda dengan Harrison Ford dalam fil Indiana Jones.

Ankara yang berambut sebahu tapi mengenakan kemeja flanel hanya tertawa. "Ya ngga donk, Agno. Memangnya saya pemburu atau petualang di hutan?"

"Kenapa sih Om repot-repot amat sok membela hutan, binatang dan sebagainya? Katanya bumi ini diciptakan buat dikuasai manusia, itu kata pendeta. Jadi biarin aja hutan dan binatang dimanfaatkan buat hidup kita. Ngapain orang dilarang-larang nebang pohon," Agno berusaha sengit membuat Ankara tak berdaya.

"Hahaha, Agno...kamu kritis sekali ya. HUtan dan hewan memang diciptakan Tuhan untuk manusia. Tapi manusia sering lupa daratan, mengeksplorasi keduanya tanpa batas demi uang, bukan sekadar buat memnuhi kebutuhan hidup lagi. Yang menebangi pohon di hutan itu para cukong yang perutnya sudah gendut. Karyawannya yang capai-capai nebang cuma dibayar murah. Tapi cukongnya untung miliaran rupiah dengan mengekspor kayu itu. Akibatnya, hutan gundul dan banjir dimana-mana. Yang rugi kan rakyat miskin, sedang si cukong kalau banjir tinggal mengungsi ke kota atau negara lain," Ankara tak kalah gesit berargumen.

"Terus kenapa Om suka larang orang memburu binatang? Kan binatang memang diciptakan buat dimakan manusia. Apa Om ini ngga pernah makan daging sapi atau ayam sih?" Agno terus memborbardir.

"Ngga semua binatang diburu untuk dimakan, Agno. Harimau atau ular diburu untuk dijual kulitnya, dijadikan mantel atau tas yang harganya mahal. Sekarang populasi harimau Sumatera sudah makin berkurang. Bahkan yang namanya harimau Bali sudah benar-benar musnah dari muka bumi. Apa kamu mau semua hewan musnah akibat keserakahan oknum manusia?"

Agno hanya memberengut menanggapi penjelasan Ankara.
berbagai cara dicoba untuk membuat lelaki ini menyerah total tanpa daya akibat kritikannya, tapi tak kunjung berhasil. Ia berusaha memperkuat imej buruk seorang calon papa tiri yang hanya butuh mama, bukan dirinya. Seorang penelusup ke dalam hubungan manis antara ia Madita yang sudah lama dibangun dan baru saja akan kian harmonis karena tinggal serumah. Kehadiran seorang Ankara dinilai Agno hanya akan mengganggu.

Madita yang sibuk sana-sini sebagai aktivis dianggap Agno sudah cukup menguras waktu yang semestinya disediakan baginya. Sebelum ada Ankara, keduanya bisa berenang bersama, menghabiskan waktu di toko buku , berkeliling plaza, menggendutkan diri dengan mampir di berbagai restoran dan warung kopi, menggosipkan teman Madita si Tante Anu, merumpi tentang teman Agno yang aneh, sekadar mencoba baju tanpa beli karena ukurannya tak ada yang pas, menyewa video dan menonton bersama sembari menghabiskan sekantung besar keripik kentang, dan sejenisnya.

Maka Agno berjuang untuk menanamkan kepercayaan pada dirinya dan madita bahwa Ankara Cuma lelaki iseng yang ingin menganggu kebahadiaan mereka. “Hati-hati ,Ma. Dia itu kayaknya mau enaknya aja. Huh, aktivis apanya. Kerjaannya Cuma nongkrong sana-sini ngga jelas. Liat aja penampilannya, dekil dan sok seniman. Norak. Mama diguna-guna kali ya, sampai bisa suka sama dia?” Madita hanya menanggapi dengan senyuman dan belaian sayang di rambut Agno. Ia tahu pasti kalau putrinya takut kehilangan dirinya.
Tapi apa daya Agno. Makin ia memburukkan Ankara, makin melambung namanya. Justru nama Ankara makin sering disebut di banyak media massa sebagai seorang pimpinan LSM pembela lingkungan nomor satu di republik ini. Kelamaan Agno menyerah. "Terserah lah kalau Mama memang mau maried sama Om itu," cetusnya suatu ketika saat Madita bertanya komentarnya soal Ankara.

"Lho, mama belum ngomong ke arah itu lho. Mama cuma nanya apa komentarmu soal Om Ankara," ledek Madita telak. Magnolia memonyongkan bibir. Apalagi tujuan hidup sepasang kekasih kalau tidak menikah, begitu rutuknya dalam hati.

Dan ia tahu pasti perjumpaannya dengan Ankara berkali-kali sengaja diatur oleh Madita agar ia mengenal Ankara lebih jauh. Apalagi begitu Agno tahu kalau Ankara penyuka musik rock klasik juga seperti dirinya. Ankara juga mengenalkan Agno pada Bob Dylan, Joan Baez, John Denver dan banyak pemusik lain yang tergolong idealis dan memperjuangkan lingkungan dan kemanusiaan lewat musik. Maka kini tak ada alasan bagi Agno untuk mendepak Ankara dari sisi Madita.

Melihat sosok Ankara mengingatkan Agno pada Dody, seorang lelaki yang harus diakui adalah ayah biologisnya. Dody jauh lebih tua dari Ankara tapi perilakunya justru lebih kekanakan. Yang Agno ingat, Dody tak lebih seorang lelaki setengah baya yang hanya bisa membelikan Chiki atau cemilan lain di masa kanaknya. Agno kelamaan tahu kalau uang untuk membeli jajanan itu didapat Dody dari Madita. Dody pengangguran dengan kerja serabutan tak jelas. Begitu tergantungnya ia pada orangtua sampai-sampai tak berkutik waktu diultimatum harus meninggalkan Madita atau kehilangan hak waris sebagai anak.

Dody hanya sesosok lelaki yang hadir sekelebat dalam hidup Agno, memproklamirkan diri sebagai papa, tapi tak pernah menafkahinya. Jangankan berbuat sesuatu untuk orang lain, berbuat untuk anaknya saja Dody tak pernah mampu. Sangat kontras dengan Ankara yang sudah malang melintang di pelosok daerah Indonesia. Menyerukan masyarakat adat Kalimantan untuk membela hak mereka atas hutan. memimpin massa di MInahasa untuk menolak operasi penambangan emas yang bisa memicu kerusakan laut. Menginvestigasi perdagangan satwa liar yang dilindungi. Dan lain-lain. Dan lain-lain.

Bukan berartiAnkara akan menggantikanfigur ayah dalam diri Agno. Tidak .Sejak dulu ia memang tidak punya figur ayah dan tak akn pernah punya. Lagipula perempua itu tak memerlukannya. Figur ayah sudah hadir dalam diri Madita sang mama. Ia lah mama sekaligus papa yang patut dikagumi. Berarti kalau Ankara menikah dengan Madita kelak maka Agno hanya akan menganggapnya sebagai seorang anggota keluarga baru. Sulit juga memangginya papa sebab sudah sekian tahun Agno tak memanggil seorang pun dengan sebutan itu. Dody sendiri sudah lama teggelam dimakan bumi, tak pernah lagi hadir dalam hidup Agno maupun Madita.

Sunday, February 12, 2006

Sweet Child O Mine


Semua berawal dari ketawa cekikikan dua pasang perempuan belia di sebuah kamar. Yang satu, Magnolia, dengan celana pendek Hawaii kedodoran, sampai sesunggukan tertawa lepas. Suaranya berhuahahaha mirip dengan tokoh Rahwana dalam pagelaran wayang orang. Ketawa model begini kalau terdengar orang tua akan segera dihentikan dengan bentakan atau bahkan cubitan di paha yang meninggalkan bekas biru. Tapi apa daya, gaung cekakan Magnolia tertutup oleh raungan gitar Kirk Hammet. Sementara perempuan satu lagi, Eda, cekikikan mirip kuntilanak. Keduanya berduet diiringi lagu "Justice for All" dari Metallica.

"Gile lu, punya keluarga terkutuk kayak gitu. Sampe berapa turunan? Tujuh? Persis kayak film horor Indonesia aja. Norak!!!" Eda menimpali di tengah cekikikannya.
"Gue ngga percaya! Sumpeh mati gue ngga percaya," sambut Magnolia sengit.
Beberapa menit lalu, sebelum keduanya bertingkah gila macam itu, eyang putri Magnolia sempat mampir mengetuk pintu kamar penuh asap rokok itu. Dengan suara serak parau sang perempuan tua berkisah pendek yang ujungnya sampai pada kisah kutukan keluarga.
"Pihak perempuan keluarga kita ditakdirkan akan menikah dua kali. Suami pertama usianya lebih tua, dan suami kedua akan berusia lebih muda dari istrinya. Tapi semua perempuan itu akan meninggal lebih dulu dari suaminya," begitu kira-kira sang eyang putri berujar menutup kisahnya. Entah bagaimana awal ceritanya, Agno dan Eda sudah lupa. Dan penutupan kisah itu membuat keduanya tertawa terpingkal seolah menonton aksi Jim Carey.

Dan kemudian hari-hari pun berjalan seperti biasa. Agno masih berseragam putih abu-abu. Setiap kali pulang sekolah jarang langsung ke rumah. Bubar sekolah selalu dirayakan dengan acara jalan-jalan bersama teman satu gank-nya. Nonton film Hongkong di bioskop murah beramai-ramai, putar-putar mall, menyambangi toko kaset untuk mengorek info album terbaru group rock idola, cuci mata melihat poster Jon Bon Jovi atau Axl Rose yang digelar pedagang kaki lima, membacai semua majalah remaja di toko buku sampai lecek, makan bakso sembari menyimak wajah manis pengamen jalanan, makan somay sampai kepedesan dan bermandikan air mata, mampir ke rumah teman biar dapat makan gratis, dan banyak lagi aktivitas warna warni lain. Semua dilakukan berulang-ulang tanpa jadwal tetap. Dan tanpa rasa jemu.

Agno dan teman-teman se-gank-nya tak pernah tahu kenapa orang kerap bilang kalau masa remaja adalah masa paling indah. Bagi mereka, kata-kata itu hanya ditujukan bagi kaum manula yang sudah keriput dan tidak punya keinginan untuk hidup. Tanpa mereka sadarai mereka melalui masa warna-warni itu begitu saja, mirip dengan angin dingin di pagi hari. Sejuk, indah dan cepat berlalu untuk kemudian tak pernah datang lagi. Agno saat itu hanya menyumpahserapahi hidup sebagai sesuatu yang menjijikan.
Betapa tidak, tiap bangun pagi ia harus memeriksa apakah ada jerawat di pipinya. Atau sewaktu ada konser group musik lokal yang memainkan lagu cadas, tahu-tahu ada ulangan Bahasa Inggris pada jam yang sama. Juga di tengah perjalanan bolos sekolah menuju bioskop murahan terdekat tiba-tiba kepergok oleh guru killer yang tak kenal kompromi. Agno dan teman-teman hanya bisa memaki-maki hidup mereka di masa SMA sebagai segala sesuatu yang serba tanggung. Ingin merokok belum boleh, mau pakai lipstik dikata norak, pakai jeans robek-robek selalu mengundang perhatian. Mendengarkan musik Sepultura dibilang orang gila oleh tetangga kiri kanan.
Agno hanya memandang hidup belianya sebagai suatu perjalanan melarikan diri dari kenyataan. Ia dan semua belia seusianya tak pernah menyadari kalau masa itu adalah kali terakhir mereka bisa berhaha-hihi tanpa beban sama sekali. Ya, sebelum masa dewasa merampas kemerdekaan itu tanpa kenal kompromi.

Belum lagi yang namanya bunga-bunga masa remaja. Kendati belum pernah berpacaran, Agno sudah beberapa kali jatuh cinta. Dan cintanya pada Ican abadi -kalau dihitung bahwa hidup hanya berlangsung selama mereka pakai putih abu-abu. Sejak kelas satu SMA Agno sudah mengincar lelaki kurus jangkung berwajah culun itu. Padahal Ican bukan idola di sekolah. Olahraganya payah, basket ngga becus, voli apalagi. Kalau semua teman satu gank-nya mencibir maka Agno hanya bisa membela diri, "Tapi dia jago nggambar lho".

Memang Ican paling hobi menggambar. Selama guru menjelaskan di muka kelas, lelaki kurus berambut kucai itu akan menunduk dengan raut wajah serius. Yang tidak tahu akan mengira Ican sedang konsentrasi mencatat pelajaran. Jangan salah, Agno tahu pasti kalau cowok pujaannya sedang asyik masuk menggoreskan pulpen Pilot hitamnya ke atas buku tulis untuk membentuk simbol Guns N'Roses atau Megadeth. Mungkin juga menggambar model gitar listrik Ibanez terbaru.

Persetan dengan apa yang digambar oleh Ican, Agno selalu tergila-gila. Kadang dengan kemanjaan yang hanya bisa ditangkap spesies tertentu- sebab bersikap manja akan sangat samar pada Agno yang dijuluki cewek metal di sekolah- ia akan meminta Ican menggambarkan beberapa pernak pernik group musik favorit. Padahal itu hanya kiat Agno untuk menarik perhatian saja. Dan kiat itu selalu sukses. Jantungnya berdebar keras. Hatinya melambung ke luar angkasa sampai tak bisa tidur semalam suntuk- besok ulangan matematika dan belum belajar- cuma karena mendapat sesobek kertas bergambar coretan tangan Ican.

Lelaki kerempeng itu sendiri kadang juga memberi sinyal khusus buat Agno. Seperti kalau ia ketahuan sedang mencuri pandang Agno di kelas. Atau perhatiannya berupa meminjamkan majalah Metal Egde, juga kaset VHS konser Metallica waktu group itu belum tenar benar di suatu klub kecil di Amrik.

Ketika anggota gank Agno satu-satu mulai pacaran, Agno masih sibuk menghitung kancing bajunya sebagai tebakan apakah Ican juga naksir dirinya. "He loves me, he loves me not. He loves me, he loves me not." Begitu ia kerap menebak melalui kancing seragam putih dekilnya. Sebelum ia mendapat jawaban, tahu-tahu mereka semua harus lulus dari SMA itu dan mesti berpencar menentukan jalan hidup masing-masing. Tanpa kompromi.
Dan kemudian ia pun hijrah ke Jakarta untuk tinggal bersama mama, seorang perempuan yang sejak kecil tak pernah tinggal bersamanya. Aneh? Cest la vie, kata orang Perancis. Begitulah hidup.

Prolog

Angin senja menerpa tubuhku luar biasa kencangnya. Seolah ia memperingatkan semua pengunjung makam untuk segera beringsut. Entah seperti ada yang menyuruh, otomatis tubuhku beranjak. Setelah mengucap sepatah dua patah doa dan meletakkan setangkai mawar di atas nisan orang tercinta, segera aku beranjak. Baru beberapa langkah, ada sesosok tubuh yang tak jua beranjak dan nampak tepekur di hadapanku.

Seorang perempuan bertubuh tinggi semampai dengan jaket hitam, tas kulit menyelempang di bahu, menghentikan langkahku. Ia tak peduli dengan kehadiranku. Dan saat aku hendak melewatinya, tiba-tiba ia mengangkat wajahnya yang tirus dan bermata tajam. Luar biasa terkejutnya aku, tak menyangka ia akan memandang langsung ke mata, menohok ke ulu hati.

“Tidak pulang, Mbak,” sapaku mencoba berbasa-basi. Ia tersenyum hambar, teramat hambar. Kutebak usianya tak lebih dari 40. Rambutnya yang panjang dibiarkan terurai. Kalau tidak memperhatikan keseluruhan penampilannya yang elegan, pasti aku sudah terbirit ketakutan. Tapi tidak mungkin kan ada kuntilanak mengenakan tas kulit rancangan desainer Paris , sepatu boot dan jaket kulit ala detektif?
Ia menyandar pada sebuah nisan. Begitu santai. Seperti sedang rileks di tepi pantai atau mall, bukan makam. Faktanya ini sebuah pemakaman, jadi sangat aneh menemui seorang perempuan dewasa berpakaian modern nampak santai dan nyaman.

“Saya tidak akan pulang sebelum bertemu yang saya cari. Kalaupun pulang, besok atau lusa pasti akan kembali lagi,” suaranya halus dan ringan terdengar.
“Mencari? Apa yang Mbak cari di tempat ini?” Aku celingukan kebingungan melihat sekitar yang mulai sunyi senyap.
“Saya mencari Tuhan,” jawabnya.

Aku terhenyak. Dia tidak. Ia menjawab dengan nada seperti seseorang yang sedang mencari tukang bakso atau ponsel yang lupa ditaruh. Tidak ada tanda-tanda gila dari ekspresi wajahnya. Semua normal dan biasa saja. Naluri petualanganku mendadak muncul. Bukan karena ia seorang perempuan cantik yang lumayan untuk diajak minum bersama atau bagaimana. Tapi kemisteriusannya membuatku penasaran. Tak peduli azan magrib mulai berkumandang, kudekati ia. Ia menatapku tajam tanpa sikap takut sedikitpun.
“Jawabanmu sangat filosifis. Penggemar filsafat?” Aku mulai nekad. Ia tak bergeming. “Enak juga bicara soal filsafat sambil minum kopi atau the. Di sebrang jalan sana ada kafe kecil tapi bersih lagi nyaman. Berminat untuk ngobrol filsafat dengan saya?” Aku betul-betul mencari masalah kali ini. Dan bibir tipis perempuan itu membentuk senyum kecil di sudut.

“Kebanyakan orang akan takut terbirit-birit begitu mendengar jawaban saya tadi. Kenapa kamu tidak?” Ia menantang lebih jauh. Kakinya melangkah maju menuju jalan keluar. Kuikuti. “Kamu pasti mengidentikan jawaban saya tadi dengan perkataan ‘menunggu godot’, ya kan?” Kali ini wajahnya sangat mempesona. Namun tetap misterius.
“Kenapa saya tidak takut? Kamu sama sekali tidak menakutkan. Dan apakah saya mengidentikkan ucapanmu dengan judul karya Samuel Beckett tadi, ya memang benar. Mengapa kamu tidak menunggu Tuhan? Mengapa harus mencari Tuhan?”

Ia diam dengan wajah serius. Langkah terhenti. Matanya menyipit memandangku. Senyumnya sinis. “Sebab Tuhan harus dicari, bukan ditunggu. Orang yang menunggu Tuhan sama saja mengharap kematian atau kiamat. Saya tidak. Saya mencari Tuhan karena ada hal yang mau aya tanyakan pada dia,” kembali suaranya terdengar ringan tanpa beban. “Apa kafe yang kamu maksud tadi masih jauh?”