Magnolia Mencari Tuhan

Satu lagi novel saya yang belum terselesaikan. Daripada teronggok di PC rumah dengan risiko kehilangan data, lebih baik diamankan saja di blog ini. Akan saya "cicil" paragraf demi paragraf. Semoga bisa dinikmati.

Sunday, February 12, 2006

Prolog

Angin senja menerpa tubuhku luar biasa kencangnya. Seolah ia memperingatkan semua pengunjung makam untuk segera beringsut. Entah seperti ada yang menyuruh, otomatis tubuhku beranjak. Setelah mengucap sepatah dua patah doa dan meletakkan setangkai mawar di atas nisan orang tercinta, segera aku beranjak. Baru beberapa langkah, ada sesosok tubuh yang tak jua beranjak dan nampak tepekur di hadapanku.

Seorang perempuan bertubuh tinggi semampai dengan jaket hitam, tas kulit menyelempang di bahu, menghentikan langkahku. Ia tak peduli dengan kehadiranku. Dan saat aku hendak melewatinya, tiba-tiba ia mengangkat wajahnya yang tirus dan bermata tajam. Luar biasa terkejutnya aku, tak menyangka ia akan memandang langsung ke mata, menohok ke ulu hati.

“Tidak pulang, Mbak,” sapaku mencoba berbasa-basi. Ia tersenyum hambar, teramat hambar. Kutebak usianya tak lebih dari 40. Rambutnya yang panjang dibiarkan terurai. Kalau tidak memperhatikan keseluruhan penampilannya yang elegan, pasti aku sudah terbirit ketakutan. Tapi tidak mungkin kan ada kuntilanak mengenakan tas kulit rancangan desainer Paris , sepatu boot dan jaket kulit ala detektif?
Ia menyandar pada sebuah nisan. Begitu santai. Seperti sedang rileks di tepi pantai atau mall, bukan makam. Faktanya ini sebuah pemakaman, jadi sangat aneh menemui seorang perempuan dewasa berpakaian modern nampak santai dan nyaman.

“Saya tidak akan pulang sebelum bertemu yang saya cari. Kalaupun pulang, besok atau lusa pasti akan kembali lagi,” suaranya halus dan ringan terdengar.
“Mencari? Apa yang Mbak cari di tempat ini?” Aku celingukan kebingungan melihat sekitar yang mulai sunyi senyap.
“Saya mencari Tuhan,” jawabnya.

Aku terhenyak. Dia tidak. Ia menjawab dengan nada seperti seseorang yang sedang mencari tukang bakso atau ponsel yang lupa ditaruh. Tidak ada tanda-tanda gila dari ekspresi wajahnya. Semua normal dan biasa saja. Naluri petualanganku mendadak muncul. Bukan karena ia seorang perempuan cantik yang lumayan untuk diajak minum bersama atau bagaimana. Tapi kemisteriusannya membuatku penasaran. Tak peduli azan magrib mulai berkumandang, kudekati ia. Ia menatapku tajam tanpa sikap takut sedikitpun.
“Jawabanmu sangat filosifis. Penggemar filsafat?” Aku mulai nekad. Ia tak bergeming. “Enak juga bicara soal filsafat sambil minum kopi atau the. Di sebrang jalan sana ada kafe kecil tapi bersih lagi nyaman. Berminat untuk ngobrol filsafat dengan saya?” Aku betul-betul mencari masalah kali ini. Dan bibir tipis perempuan itu membentuk senyum kecil di sudut.

“Kebanyakan orang akan takut terbirit-birit begitu mendengar jawaban saya tadi. Kenapa kamu tidak?” Ia menantang lebih jauh. Kakinya melangkah maju menuju jalan keluar. Kuikuti. “Kamu pasti mengidentikan jawaban saya tadi dengan perkataan ‘menunggu godot’, ya kan?” Kali ini wajahnya sangat mempesona. Namun tetap misterius.
“Kenapa saya tidak takut? Kamu sama sekali tidak menakutkan. Dan apakah saya mengidentikkan ucapanmu dengan judul karya Samuel Beckett tadi, ya memang benar. Mengapa kamu tidak menunggu Tuhan? Mengapa harus mencari Tuhan?”

Ia diam dengan wajah serius. Langkah terhenti. Matanya menyipit memandangku. Senyumnya sinis. “Sebab Tuhan harus dicari, bukan ditunggu. Orang yang menunggu Tuhan sama saja mengharap kematian atau kiamat. Saya tidak. Saya mencari Tuhan karena ada hal yang mau aya tanyakan pada dia,” kembali suaranya terdengar ringan tanpa beban. “Apa kafe yang kamu maksud tadi masih jauh?”

0 Comments:

Post a Comment

<< Home